Pendahuluan
Berita-berita mengenai pelanggaran etika
bisnis mendorong ketertarikan untuk menelusuri lebih lanjut faktor-faktor yang
mendorong dan dampak yang diakibatkan. Etika bisnis merupakan aspek moral dalam
menjalankan bisnis. Masih banyak fenomena-fenomena dimana beberapa bisnis masih
mengabaikan aspek moral. Banyak perusahaan yang hanya memikirkan keuntungan,
menghindari kerugian, dan kekuatan bersaing sebagai satu-satunya tujuan dalam
menjalankan bisnis sehingga faktor moral atau etika tidak lagi menjadi
pertimbangan.
Dalam satu bulan terakhir ini sudah ada
3 produk yang izin edarnya ditarik oleh BPOM karena tidak sesuai ketentuan.
Dimulai dari Viostin dan Enzyplex tanggal 5 Februari lalu karena terbukti
mengandung DNA babi, kini Albothyl pun dibatalkan izin edarnya per tanggal 15
Februari setelah ada 38 laporan kasus terkait efek samping serius yang timbul
akibat penggunaan Albothyl, oleh profesional kesehatan dalam dua tahun terakhir
ini.
Perlu diketahui bahwa kualitas dan
keamanan setiap produk obat maupun makanan yang beredar di Indonesia dikontrol
oleh BPOM atau disebut juga post-market surveillance. Post-market surveillance
ini biasanya dilakukan dengan cara sampling (mengambil contoh produk langsung
dari pasaran untuk diuji di laboratorium). Dan cara samplingini bisa dilakukan
secara rutin (misalnya menjelang akhir tahun atau Idul Fitri) maupun secara
mendadak jika diduga ada yang tidak sesuai ketentuan.
Etika bisnis adalah aturan-aturan yang
menegaskan suatu bisnis boleh bertindak dan tidak boleh bertindak, aturan-aturan
tersebut bersumber dari aturan tertulis maupun tidak tertulis (Fahmi, 2013:3).
Jadi etika bisnis menyangkut baik atau buruknya perilakuperilaku manusia dalam
menjalankan bisnisnya. Bisnis yang beretika harus dilihat dari tiga sudut
pandang yaitu ekonomi, hukum, dan moral (Bertens, 2013: 25).
1. Dari
sudut pandang ekonomi, bisnis yang baik adalah bisnis yang menghasilkan
keuntungan tanpa merugikan orang lain.
2. Dari
sudut pandang hukum, bisnis yang baik adalah bisnis yang tidak melanggar
aturan-aturan hukum.
3. Dari
sudut pandang moral, bisnis yang baik adalah bisnis yang sesuai dengan
ukuran-ukuran moralitas.
Keraf
dalam Haurisa&Praptiningsih (2014: 1) mengemukakan lima prinsip dalam etika
bisnis yaitu:
1. Prinsip
otonomi: kemampuan seseorang bertindak berdasarkan kesadaran dirinya sendiri
tanpa pengaruh dari pihak lain.
2. Prinsip
kejujuran: sifat terbuka dan memenuhi syarat-syarat bisnis.
3. Prinsip
keadilan: bersikap sama secara objektif, rasional, dan dapat
dipertanggungjawabkan.
4. Prinsip
saling menguntungkan: tidak ada pihak yang dirugikan dalam bisnis.
5. Prinsip
integritas moral: memenuhi standar moralitas.
Prinsip-prinsip tersebut dapat menjadi
indikator untuk perusahaan yang melakukan usahanya sesuai etika bisnis. Salah
satu prinsip yang tidak terpenuhi mengindikasikan adanya pelanggaran etika
bisnis. Bertens (2013: 25) mengemukakan tiga ukuran moralitas dalam bisnis yang
dapat digunakan untuk mengukur sudut pandang moral dan prinsip integritas
moral, yaitu:
1. Hati
nurani; Setiap keputusan yang diambil menurut hati nurani adalah baik. Orang
yang mengambil keputusan dengan mengingkari hati nuraninya, secara tidak
langsung dia juga menghancurkan integritas pribadinya
2. Kaidah
emas; Kaidah emas berbunyi “hendaklah memperlakukan orang lain sebagaimana anda
sendiri ingin diperlakukan” hal ini berarti, jika seseorang tidak ingin
mendapat perlakuan buruk, maka jangan sampai memperlakukan orang lain dengan
buruk.
3. Penilaian
umum; Perilaku bisnis yang oleh masyarakat umum dinilai baik, berarti bisnis
tersebut etis. Namun, jika masyarakat umum menilai bisnis tersebut tidak baik,
berarti bisnis tersebut tidak etis. Hal ini disebut juga audit sosial. Teori
etika membantu dalam menentukan penilaian etis atau tidaknya suatu perilaku.
Alasan benar atau tidaknya perilaku yang dilakukan seseorang dapat didukung
dengan teori etika.
Ada
4 (empat) teori etika yang paling penting menurut Bertens (2013, 63) yaitu:
1. Utilitarianisme
: Menurut teori ini, perbuatan yang etis adalah perbuatan yang memberi manfaat
untuk banyak orang. Kriteria untuk teori ini adalah the greatest happiness of
the greatest number atau kebahagiaan terbesar yang dirasakan jumlah orang
terbesar.
2. Deontologi
: Menurut teori ini, perbuatan yang baik bukan dinilai dari akibat atau
tujuannya, namun karena perbuatan itu adalah kewajiban yang harus dilaksanakan.
Dengan kata lain, perbuatan yang baik adalah perbuatan yang dilakukan karena
kewajiban dan perbuatan yang buruk adalah perbuatan yang dilarang untuk
dilakukan
3. Teori
hak : Menurut teori ini, perbuatan yang etis adalah perbuatan yang tidak
menyalahi atau melanggar hak-hak orang lain. Setiap orang memiliki hak untuk
diperlakukan dengan baik, sehingga perbuatan yang etis harus memperlakukan
orang lain dengan baik, tidak boleh ada hak-hak yang dilanggar.
4. Teori keutamaan : Teori ini mengesampingkan tindakan mana yang etis dan tidak etis. Jika seseorang menganut paham egoisme, maka tindakan yang etis adalah tindakan yang bisa memenuhi keinginannya, jika tidak bisa memenuhi keinginannya maka tindakan yang dilakukan belum etis. Jadi menurut teori ini, etis atau tidaknya suatu perilaku adalah jawaban dari hati nuraninya sendiri.
4. Teori keutamaan : Teori ini mengesampingkan tindakan mana yang etis dan tidak etis. Jika seseorang menganut paham egoisme, maka tindakan yang etis adalah tindakan yang bisa memenuhi keinginannya, jika tidak bisa memenuhi keinginannya maka tindakan yang dilakukan belum etis. Jadi menurut teori ini, etis atau tidaknya suatu perilaku adalah jawaban dari hati nuraninya sendiri.
Menurut Fahmi, (2013:9) permasalahan
permasalahan umum yang terjadi dalam etika bisnis antara lain:
1. Pelanggaran
etika bisnis dilakukan oleh pihak-pihak yang mengerti etika bisnis. Dilakukan
dengan sengaja karena faktor ingin mengejar keuntungan dan menghindari
kewajiban-kewajiban yang selayaknya harus dipatuhi.
2. Keputusan
bisnis sering diambil dengan mengesampingkan norma norma atau aturan-aturan
yang berlaku, misalnya Undang-Undang perlindungan Konsumen. Keputusan bisnis
sering mengedepankan materi atau mengejar target perolehan keuntungan jangka
pendek semata.
3. Keputusan bisnis sering dibuat secara sepihak
tanpa memperhatikan atau bahkan tanpa mengerti ketentuan etik yang disahkan
oleh lembaga yang berkompeten seperti Kode Etik Perhimpunan Auditor Internal
Indonesia (PAAI), Peraturan Menteri Keuangan Nomor 17/PMK.01/2008/ tentang Jasa
Akuntan Publik, Peraturan Badan Pemeriksa Keuangan Nomor 2 Tahun 2007 tentang
Kode Etik BPK-RI, Kode Etik PsikologiIndonesia, Kode Etik Advokat Indonesia,
dan lain sebagainya.
4. Kontrol dari pihak berwenang dalam menegakkan etika bisnis masih dianggap lemah. Sehingga kondisi ini dimanfaatkan untuk mencapai keuntungan pribadi atau kelompok.
4. Kontrol dari pihak berwenang dalam menegakkan etika bisnis masih dianggap lemah. Sehingga kondisi ini dimanfaatkan untuk mencapai keuntungan pribadi atau kelompok.
KASUS :
Dalam satu bulan terakhir ini sudah ada
3 produk yang izin edarnya ditarik oleh BPOM karena tidak sesuai ketentuan.
Dimulai dari Viostin dan Enzyplex tanggal 5 Februari lalu karena terbukti
mengandung DNA babi, kini Albothyl pun dibatalkan izin edarnya per tanggal 15
Februari setelah ada 38 laporan kasus terkait efek samping serius yang timbul
akibat penggunaan Albothyl, oleh profesional kesehatan dalam dua tahun terakhir
ini.
Pada kasus Viostin dan Enzyplex, boleh
dikatakan levelnya tidak sampai membahayakan pasien. Hanya tidak sesuai dengan
ketentuan pelabelan produk, mengingat Indonesia adalah negara mayoritas Muslim
sehingga produk yang mengandung babi harus mengikuti ketentuan khusus, seperti
yang pernah saya jelaskan dalam artikel saya sebelumnya.
Tapi untuk kasus Albothyl kali ini,
tentunya dianggap sangat serius karena berkaitan dengan keselamatan pasien.
Dalam 38 laporan kasus tersebut menunjukkan bahwa adanya efek samping Albothyl
yang malah memperparah sariawan yang diderita pasien dan menyebabkan infeksi
(noma like lession).
Kejadian ini sedikit banyak menimbulkan
pertanyaan dari masyarakat dan kalangan profesi kesehatan. Siapa yang salah?
Produsen yang dianggap tidak serius dengan keamanan produknya atau regulator
yang dianggap tidak cermat dalam mengevaluasi produk sebelum memberikan Nomor
Izin Edar.
Perlu diketahui bahwa kualitas dan
keamanan setiap produk obat maupun makanan yang beredar di Indonesia dikontrol
oleh BPOM atau disebut juga post-market surveillance. Post-market surveillance
ini biasanya dilakukan dengan cara sampling (mengambil contoh produk langsung
dari pasaran untuk diuji di laboratorium). Dan cara samplingini bisa dilakukan
secara rutin (misalnya menjelang akhir tahun atau Idul Fitri) maupun secara
mendadak jika diduga ada yang tidak sesuai ketentuan.
Namun tentunya, kontrol tidak hanya
dilakukan oleh pihak regulator (dalam hal ini BPOM dan BBPOM) karena bisa
dibayangkan bagaimana repotnya mereka mengontrol seluruh produk yang beredar di
Indonesia beserta seluruh fasilitas produksinya. Oleh sebab itu, peran industri
farmasi, profesional kesehatan di lapangan dan masyarakat awam juga diperlukan.
Caranya? Ya dengan melaporkan kejadian tidak diinginkan (baik yang serius
maupun tidak serius) yang timbul akibat penggunaan suatu obat atau yang dikenal
dengan istilah Farmakovigilans. Apa lagi tuh?
Farmakovigilans adalah seluruh kegiatan
tentang pendeteksian, penilaian, pemahaman dan pencegahan efek samping atau
masalah lainnya terkait dengan penggunaan obat. Pelaporan ini sifatnya bisa
berupa Pelaporan spontan, Pelaporan Berkala Pasca Pemasaran (Periodic Safety
Update Report), Pelaporan studi keamanan pasca pemasaran, Pelaporan
publikasi/literatur ilmiah, Pelaporan tindak lanjut regulatori Badan Otoritas
negara lain, pelaporan tindak lanjut pemegang izin edar di negara lain, dan
Pelaporan dari perencanaan Manajemen Resiko.
Analisis :
Dari kasus Albothyl ini, kita tentunya
sangat prihatin atas banyaknya pasien yang telah dirugikan. Tapi kita tidak
perlu juga saling menyalahkan dan mempertanyakan kompetensi pihak-pihak yang
terlibat di dalamnya. Berkaca dari kasus Thalidomide, penarikan produk obat
karena efek samping yang muncul meskipun produk tersebut sudah lama beredar di
pasaran sangat mungkin terjadi.
Hal ini tentunya dipengaruhi faktor
sensitivitas dan reaksi setiap orang yang berbeda terhadap suatu obat.
Farmakovigilans boleh dibilang tidak hanya dilakukan selama beberapa tahun
terhadap suatu obat setelah disetujui izin edarnya, melainkan selama produk
tersebut beredar di pasaran.
Dari kasus diatas terlihat bahwa
perusahaan melakukan pelanggaran etika bisnis dilihat dari sudut pandang ekonomi yaitu perusahaan di
untungkan tetapi banyak orang yang di rugikan dan perusahaan tidak memenuhi
dari prinsip dari etika bisnis yaiu prinsip kejujuran. Perusahaan tidak terbuka
dan memenuhi syarat-syarat bisnis dan Mengenyampingkan aspek kesehatan konsumen
dan membiarkan penggunaan zat berbahaya dalam produknya. Albothyl yang beredar
di pasaran saat ini mengandung zat bernama Policresulen dengan konsentrasi 36%.
Policresulen adalah senyawa asam organik (polymolecular organic acid) yang
diperoleh dari proses kondensasi formalin (formaldehyde) dan senyawa meta-cresolsulfonic
acid. Policresulen yang diaplikasikan pada sariawan akan menyebabkan jaringan
pada sariawan menjadi mati. Itulah alasan kenapa saat albothyl digunakan pada
sariawan akan terasa sangat perih, namun kemudian rasa perih hilang dan sakit
pada sariawan pun tidak lagi terasa. Bagi Anda yang pengalaman memakai obat ini
mungkin akan menyaksikan sendiri sesaat setelah albothyl digunakan sariawan
akan menjadi berwarna putih dan kering. Jadi sebenarnya policresulen ini tidak
mengobati sariawan melainkan mematikan jaringan yang sakit atau rusak tersebut.
Ketika jaringan sariawan sudah mati, maka tubuh akan melakukan regenerasi
sel-sel baru sehingga sariawan menjadi sembuh.
Kesimpulan :
Banyaknya kasus pelanggaran di dalam
etika berbisnis membuat kita sadar bahwa masih banyak nya produsen produsen
nakal yang hanya memikirkan materi tanpa memikirkan dampak apa yang telah
diperbuat, pemerintah seharusnya lebih teliti terhadap pengawasan peredaran
barang barang yang beredar dan harus
lolos uji seleksi. Dan untuk masyarakat kita mengajak untuk selalu
peduli terhadap apa yang di nilai kurang baik. Farmakovigilans tidak hanya
dilaksanakan oleh industri farmasi tetapi juga didukung oleh masyarakat awam
dan profesional kesehatan di lapangan. Bagi masyarakat awam, jika menemukan
atau mengalami kejadian yang tidak diinginkan setelah mengkonsumsi suatu obat,
bisa menghubungi produsen dan melaporkan kejadian yang dialami (kecuali
kejadian serius yang memerlukan penanganan segera ke klinik atau rumah sakit).
Biasanya produsen memiliki nomor kontak layanan keluhan konsumen.
Keluhan-keluhan ini akan ditindaklanjuti oleh bagian Farmakovigilans di setiap
perusahaan atau produsen.
Saran :
Sebaiknya
badan pengawas obat dan makanan lebih memperhatikan kembali dan tidak
kecolongan kembali atas kasus yang dinilai merugikan banyak pihak ini, dan
selalu tegas dan menindak oknum nakal nakal tersebut, untuk masyarakat harus
lebih selektif dalam pemilihan barang, untuk yang faham akan bidang nya lebih
terbuka dalam membagi informasi berkaitan dengan apa yang di ketahui nya,
saling berbagi manfaat dan ilmu
Sumber :
Bertens,
K . 2013. Pengantar Etika Bisnis. Yogyakarta : Kanisius .
Fahmi,
I . 2013. Etika Bisnis: Teori, Kasus, dan Solusi. Bandung: Alfabeta.
Haurissa,
L.J.,dan Praptiningsih, M. 2014. Analisis Penerapan Etika Bisnis pada PT Maju
Jaya di Pare Jawa Timur. Agora Vol. 2, No. 2.
Meilina,
R. (2016). FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PELANGGARAN ETIKA BISNIS Restin Meilina Universitas
Nusantara PGRI Kediri Pendahuluan, 14(2), 119–126